MENINTING RANJOK YANG TAK HARMONIS LAGI

  • Dec 16, 2021
  • Admin Desa Mambalan

Pasca banjir Lombok Barat belum lama ini, mendadak muncul komentator dadakan. Sok ahli dan sok tau.

Mereka berteori sesuai mata kuliah yang pernah mereka pelajari. Mereka bernarasi seolah mereka faham apa yang terjadi.

Padahal mereka jauh panggang dari api. Jauh teori dari perkembangan persoalan yang terjadi .

Apink Alkaf - Mambalan

Ilmu lama coba mereka paparkan dalam kondisi yang sudah tak alami.

Sedang persoalan sudah tidak seperti dulu lagi.

Perubahan iklim hanya mereka pahami sebatas lips sing tanpa arti .

Pemanasan global hanya menjadi wacana demi sesuap nasi.

Konservasi hanya kalam fadi tanpa realisasi.

Kemudian kalian menggurui kami dengan sederet narasi tanpa arti.

Seolah kalian mengerti dan memahami apa yang tengah kami alami.

Bahwa benar, lembah-lembah resapan air telah banyak yang hilang.

Bahwa benar, curah hujan tinggi yang memicu banjir terjadi.

Bahwa benar Sungai Ranjok yang biasanya tenang sudah tidak ramah lagi.

Bahwa benar, 37 kepala keluarga desa Mambalan dan ribuan warga sekitar sungai Meninting dan Ranjok terendam banjir dan harus dievakuasi.

Bahwa benar banjir bandang di Batu Layar dan Kekait itu terjadi dan memakan korban jiwa lagi.

Tapi, Al Fakir kali ini tidak ingin membahas banjir Batu Layar, tanah longsor Desa Kekait, atau banjir Lembah Sari.

Alfakir hanya mencoba mengungkapkan sisi lain kenapa Sungai Ranjok tak Tenang Lagi?

Dan kenapa blabur Sungai Meninting Lebih deras dan Ganas dari biasanya?

Sebagai generasi Matakali yang lahir dan dibesarkan diantara dua Tiu sungai Meninting dan Ranjok, tentu kami punya sudut pandang tersendiri.

Menelisik gejala alam dan asbab banjir ini terjadi.

Sebelum itu, sedikit kita kembali ke masa lalu. Masa dimana keseimbangan dan harmoni masih ada.

Meretas setakat sejarah Kedatuan Mambalan yang kini berusia sekitar 350 tahun ini.

Yang pasca reformasi (1998) membelah diri menjadi delapan desa baru diantara dua matakali Meninting dan Ranjok.

Adalah Desa Ranjok sendiri, Dopang, Guntur Macan, Gelangsar, Jeringo , Mekar Sari, Penimbung, dan Bukit Tinggi.

Sebagi desa induk, ketika desa-desa pemekaran ini diterjang banjir, Mambalan pun akan merasakan dampak nya. Walau tak separah desa desa tetangga, kami cukup memahami derita yang dirasakan para pengungsi yang notabene dulunya warga Mambalan.

Kami merasakan apa mereka alami.

Dan memahami apa yang terjadi.

Seperti umumnya, desa-desa tua di pulau Lombok ini, desa Mambalan masa lalu diapit dua sungai besar. Yang menjadi benteng alam sekaligus sumber kehidupan alami warga kami. Yang menjadi sumber daya alam dan aset istimewa daerah kami.

Ironi, kini sumber daya itu menjadi sumber bencana yang mulai menghampiri.

Kemudian, kalian mencoba mencari pembenaran diri. Bahwa banjir ini terjadi bukan karena kerusakan akibat kerakusan yang telah kalian lakukan.

Sungguh, selama ini kami, warga diantara dua matakali ini mengenal Ranjok sebagai sungai yang tenang nan menghanyutkan. Tidak deras dan tidak berarus kencang. Tanpa bebatuan cadas dan tanpa jeram curam. Mengalir dari mata mata mata air lembah Mekar Sari, bertemu deras aliran sungai Meninting di ujung desa Taman Sari.

Kemudian arus tenang sungai Ranjok mengalir bersama deras Meninting menyusuri Gunungsari, Sesela, hingga bermuara di laut Desa Meninting, Batu Layar.

Ada asap, tentu ada api.

Ada aksi, tentu ada reaksi.

Ada sebab, tentu ada akibat.

Ada keserakahan, tentu ada penderitaan.

Ada kerusakan alam atas nama kepentingan jelas terlihat.

Ada mega bendungan atas nama kemaslahatan yang merusak keseimbangan.

Ada ambisi dan nafsu yang menguntungkan segelintir pribadi.

Ada ratusan miliar yang meninabobokan dan membius warga sekitar Bukti Tinggi. Ada pejabat desa terjerat pidana tanpa bukti yang memadai.

Ada ratusan warga lugu yang mendadak kaya dan menjadi miliarder polos.

Ada amak si penarep tuak manis yang mendadak punya Toyota Yaris terparkir di bawah pohon pohon aren Bukit Tinggi.

Namun, ada pula korban jiwa dari para pekerja luar Lombok yang selalu ditutupi. Mereka terbenam ketika meledakkan tebing tebing Batu Kemalik dan Bukit Murpadang.

Hingga kini, proyek ambisius yang dirancang tanpa kajian gempa itu sudah memasuki tahun ketiga. Yang konon rencananya, program ini akan klar dalam empat tahun kerja.

Saat ini, kawasan lembah hulu sungai Meninting di bendung. Konon, selain untuk irigasi sampai Lombok Tengah dan selatan, bendungan ini akan menjadi pusat pembangkit listrik mikrohidro yang akan menyuplai kebutuhan tambahan energi pulau ini. Tentu, salah satu proyek ambisius ini diyakini akan menjadi daerah wisata baru. yang kelak diharapkan menjadi sandaran hidup warga sekitar bendungan di kemudian hari.

Karena bentang alam telah berubah. Ekosistem dan vegetasi hutan, kebun, dan sungai di kawasan lembah Bukit Tinggi telah terjarah. Alam mulai merespon.

Blabur Kokok Ninting sudah tidak biasa lagi. Meluap merendam sejumlah desa hingga muara.

Jauh lebih deras dari yang selama ini pernah terjadi.

Menerjang dan merontokkan jembatan Meninting. Merendam ratusan rumah warga di sekitar muara.

Sementara aliran Sungai Ranjok yang selalu tenang tak sanggup mengimbangi derasnya arus sungai Meninting. Ia kembali, tertahan, merendam, dan memberkan pesan.

Pesan untuk kita bahwa keseimbangan dua matakali Maninting dan Ranjok sudah tak harmonis lagi.

Sementara, sehari sebelum bencana itu terjadi, air laut meluap. Banjir ROB merendam sebagian pantai Lombok Barat dan menghantam balik derasnya arus Sungai Meninting dan tenang nya Sungai Ranjok.

Dan Kini kami mulai memahami, kenapa hulu sungai Meninting Bukit Tinggi itu diberi nama Tunjang Polak oleh para Pendahulu Kami. Tunjang Polak atau Tongkat Patah yang kini hilang ditelan bumi.